“Ketidakberuntunganku”
Pagi yang cerah, matahari mulai
menunjukkan senyumnya yang ramah. Seakan memberikan pratanda bagi makhluk hidup
untuk memulai aktifitas. Binatang-binatang mencari makan dan para petani pergi
ke sawah. Hari itu hari Minggu, keluargaku berencana pergi tamasya.
“Hoam
… “ aku terbangun dari mimpi indahku karena mendengar jeritan Tika, adikku yang
berusia tiga tahun.
“Mbak,
ayo bangun. Mbak, bangun!” teriak Tika.
“
Aaa.. Tika tu ganggu e! aku masih ngantuk!” keluhku.
“Tak
tinggal lho .. “ kata Tika seraya keluar kamar.
Di
dalam hati aku bertanya-tanya apa yang dimaksud Tika. Kemudian aku ingat. “ Oh
iya kan sekarang mau pergi ke JWF!” aku tersentak. Kemudian lari keluar kamar
tanpa membereskan tempat terindah berkhayal lewat mimpi. Aku langsung mengambil
handuk dan bergegas mandi. Di luar, keluargaku sudah hampir siap berangkat.
Maka aku percepat siap-siapnya.
“Ayo berangkat!” teriak Bita,
adikku, setelah semua persiapan selesai dan semua telah siap. Aku sekeluarga
berangkat pukul 9 pagi menggunakan mobil. Di perjalanan aku, bita, dan Tika
bermain hp dan bernyayi bersama. Saat sampai di lampu merah, aku melihat
kecelakaan yang sangat mengerikan. Darahnya tercecer dimana-mana. Melihat
kejadian itu aku takut jika itu terjadi padaku. Kemudian aku berkata kepada
ayahku “ Yah, hati-hati lho!”
Sesampainya di JWF (Juwana Water
Fantacy). Ibuku langsung menuju loket untuk membeli tiket. Setelah membeli
tiket aku dan keluargaku bergegas menuju pintu masuk. Saat di pintu masuk ada
petugas yang memberikan cap stempel ke tangan pengunjung.
“Wow .. bagus banget!” pujiku. Aku
terkagum melihat keindahan tempat itu. Pertama masuk, pengunjung langsung
disuguhkan dengan air mancur yang indah dan berbagai macam replika tokoh-tokoh
kartun yang lucu. Di sana tidak hanya menyediakan kolam renang, tetapi juga
menyediakan berbagai macam wahana permainan. Tika dan Bita bergegas ganti baju
untuk berenang dan aku bergegas mengambil kamera untuk berfoto-foto. Aku tidak
ikut berenang karena aku tidak suka dengan kolam renang yang terlalu terbuka.
Tetapi sebenarnya aku ingin, karena iri melihat kegembiraan yang tergambar di
wajah kedua adikku bahkan ibuku yang hanya menemani mereka. Aku nyesel banget
karena tidak ikut bermain air. Namun buat apa aku sedih di hari yang gembira
ini. Maka, aku lupakan masalah itu dan kembali mengambil foto dengan bantuan
ayahku, untuk mengisi waktu menunggu adik-adikku selesai berenang.
Selesai berenang aku mengajak Bita
untuk bermain ke wahana permainan. Sedangkan Tika, ibu, dan ayahku menunggu di
dekat arena outbound dengan memakan makanan yang dibawa dari rumah. Pertama,
aku mengajak Bita ke wahana rumah kaca. Sebalum masuk wahana ada petugas yang
menagih tiket kepada kami. Dia berkata jika ingin masuk ke wahana permainan
harus menggunakan tiket yang tadi sudah di beli. Saat itu, aku binggung dan
takut karena tidak membawa tiket. Karena kami tidak membawa tiket, maka kami
bergegas untuk mengambil tiket di tempat oranngtua bersantai.
“Lho
Dek, enggak jadi masuk?”tanya petugas wahana itu.
“
Mau ngambil tiket, Mbak.” jawabku dengan gugup.
“Oh..
adikknya enggak bawa tiket. Ya udah enggak papa. Tapi nanti enggak boleh ke
sini lagi ya.” terang petugas itu.
“Oh
iya Mbak. Terima kasih.” jawabku dengan hati berbunga-bunga.
“Mana
Dek cap stempelnya? Buat jadi bukti.”
“Oh
iya Mbak.” seraya menunjukkan tangan.
“Oke
deh.. silahkan masuk.”
“Terima
kasih Mbak.”
Setelah
selesai bermain di wahana rumah kaca. Aku melanjutkan ke wahana rumah hantu.
Awalnya kami ragu, tetapi akhirnya kami masuk juga. Namun sebelum masuk, Bita
bertanya.
“Mbak
kok kita enggak ambil tiket dulu?”
“Hmm..
enggak papa Dek. Tadikan boleh enggak pakai tiket. Cuma pakai stempel.”
jawabku.
Tetapi
saat itu bukanlah saat keberuntunganku. Saat kami akan masuk tanpa membawa
tiket. Petugas wahana itu tidak mengijinkan kami masuk, hingga memarahi kami.
Karena kami takut maka kami bergegas pergi dari tempat itu. Malangnya, saat di
jalan aku menabrak anak kecil yang sedang makan es krim hingga es krimnya
jatuh. Anak itu menangis, kemudian ibu anak itu memarahiku dan meminta ganti
rugi. Perasaaku saat itu adalah takut karena ternyata aku tidak membawa uang
sepeserpun. Orang-orang di sekitar kejadian memperhatikan kami. Kemudian aku
mengatakan kepada ibu anak itu bahwa aku tidak membawa uang.
“Alah..
alesan. Bilang aja kalau enggak punya uang. Dasar kere.” kata ibu anak itu
sambil berlalu.
“Astaghfirullah …” jawabku sambil mendesah pelan.
Aku
merasa marah dengan perkataan ibu tadi, tetapi aku mencoba bersabar.
Kami melanjutkan perjalanan menuju
tempat orangtua besantai. Akan tetapi, ketidakberuntunganku datang lagi. Saat
di jalan, aku terjatuh ke dalam got kecil hingga kakkiku berdarah. Itu terjadi
karena aku terburu-buru sehingga tidak terlalu memperhatikan jalan. Aku
mengaduh kesakitan karena darah segar keluar dari kakiku tepatnya di lutut. Aku
bergegas berdiri agar tidak ada orang yang melihat. Aku kesakitan dan merasa
malu. Untung luka itu tertutup oleh rokku. Bita yang melihat kejadian itu
menangis sejenak karena iba melihatku.
Saat sampai di tempat orangtuaku
berantai. Aku sedikit lega karena lukaku akan segera terobati. Namun, aku tidak
mellihat orangtuaku di sana. Aku dan Bita merasa cemas dan sangat takut.
“Ya Allah.. ibu sama ayah dimana ya?
Ya Allah ada apa lagi ini?” kataku pelan.
“Mbak coba telepon ibu.” saran Bita.
“Oh iya .. bener banget kamu Dek.”
Kemudian
aku mengambil hp. Akan tetapi ternyata hp aku lobet.
“Ya Allah Dek gawat. Hp aku mati.” kataku
dengan perasaan cemas.
“Ya udah deh Mbak. Kita cari aja.
Tapi gimana kaki Mbak?” tanya Bita.
“Aku enggak papa kok Dek.” jawabku
“Beneran?” tanya Bita memastikan
“Beneran.”
Kemudian kami mencari dan mencari.
Hingga akhirnya ..
“ Aduh Dek .. aku udah enggak
tahan.” keluhku
“Mbak sabar ya. Mbak Vina duduk dulu
aja. Biar aku yang cari.” jawab Bita.
“Ahh .. kamu enggak papa sendirian?”
tanyaku
“ Enggak papa kok Mbak. Mbak Vina
kan kakinya sakit.”
Setelah beberapa waktu akhirnya
orangtuaku berhasil ditemukan. Ibuku menghampiriku.
“Mana Mbak, yang sakit?” tanya
ibuku.
“Ini
Bu, lututku. Ibu kok bisa tau? Pasti dikasih tau Bita ya?” tanyaku sambil
melihat ke arah Bita.
Bita
hanya senyam-senyum menatapku.
“Lho
kok bisa sampai kayak gini? Ya Allah .. kamu enggak papa to Mbak Vina.” kata
ibuku seraya melihat lukaku.
“Aku
enggak papa kok bu.” jawabku
Kemudian
aku menceritakan mengenai asal usul lukaku seraya diobati oleh ibuku. Setelah
aku diobati, aku dan keluargaku pulang ke rumah karena sudah kecapekan.
“Aku
takkan pernah melupakan kenangan ini seumur hidup, biarlah kenangan ini menjadi
coretan di memoriku untuk selamanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar